• Breaking News

    Senin, 27 Februari 2017

    Glaudio Ranieri Si Tua Yang Tak Pernah Di Hargai Dan Di Depak Saat sudah Tidak Di Butuh Kan | BANDAR BOLA



    BANDAR BOLA


    Abcbola.net - 14 November 2014, Claudio Ranieri tertunduk lesu di bangku cadangan stadion Georgios Karaiskakis. Tangannya memangku menahan kepalanya, yang seakan tak lagi sanggup diangkat. Ia frustrasi tim asuhannya, Yunani, entah bagaimana bisa kalah 1-0 dari Kepulauan Faroe, pada matchday empat Grup F Kualifikasi Euro 2016.

    Ya, Kepulauan Faroe, sebuah negara kecil yang penduduknya tak sampai 50 ribu. Dipandang sebagai salah satu tim terlemah di Eropa, yang mungkin cuma lebih baik dari Gilbraltar dan San Marino. Mereka tak pernah lolos ke Euro atau Piala Dunia dan untuk kali pertama sanggup menaklukkan negara yang pernah jadi kampiun Euro.

    “Yunani Pecat Claudio Ranieri Usai Kalah Memalukan Dari Kepulauan Faroe!” begitu headline The Guardian, sehari usai hasil memalukan tersebut. Sejatinya bukan hanya kekalahan itu yang jadi pemicu, tapi Ranieri juga buat Yunani menelan dua kekalahan dan satu hasil imbang dari tiga partai sebelumnya. Satuh hal yang akhirnya membuat Negara Para Dewa tak lolos ke Euro 2016.


    Masyarakat Yunani sontak menjuluki Ranieri sebagai “Hades”, dewa yang membawa kekelaman dalam mitologi Yunani. Orang-orang kemudian percaya karier Ranieri sudah tamat, apalagi usianya kala itu telah menginjak 63 tahun, meski punya mimpi pensiun tujuh tahun berselang.

    Ranieri sepertinya juga harus legawa dengan karier medioker kepelatihannya, yang dimulai sejak 1986. Sanggup mempopulerkan diri bersama Napoli dan Fiorentina, ia kemudian dikenal sebagai“Mr Runner-Up”, akibat kegagalan tersohornya bersama Valencia, Chelsea, Juventus, AS Roma, dan AS Monaco. Dirinya tak pernah memenangkan gelar liga domestik dan hanya pernah mempersembahkan piala-piala “kecil”.

    Sampai akhirnya, ketika sedang menikmati kopi di teras rumahnya yang terletak di Roma, agennya, Steve Kutner, menelepon bahwa dirinya mendapat tawaran dari klub medioker Liga Primer Inggris, Leicester City. Tak perlu pikir panjang, Ranieri langsung menerima tawaran tanpa menduga dalam 10 bulan berselang ia akan dikenang sebagai legenda.

    “Liga Primer Inggris adalah yang terbaik di dunia dan saya punya pengalaman indah bersama Chelsea. Target kami adalah terus bertahan dan saya pun ingin bertahan selama mungkin di sini,” tutur Ranieri dalam peresmian jabatannya pada Juli 2015. Sang Italiano sejatinya jadi pilihan kedua, setelah Guus Hiddink yang jadi favorit menolak tawaran.

    Mendapat tugas relatif ringan untuk dirinya yang terbiasa melatih tim besar, kehadiran Ranieri tetap menuai kecaman dari publik Leicester. Para suporter masih menaruh cinta yang besar pada manajer sebelumnya, Nigel Pearson. Sementara legenda terbesar klub, Gary Lineker, melontarkan komentar bernada sinis. “Claudio Ranieri? Yang benar saja!” cuitnya melalui Twitter.

    Di tim “sekecil” Leicester pun, Ranieri diremehkan. Ia dianggap sudah kuno, terlalu tua, dan dipercaya takkan sanggup menyelamatkan klub dari ancaman degradasi. Kebiasaannya mengutak-atik formasi yang jadi alasan julukan The Tinkerman hadirkan hujan kritik. Skema ofensif 4-3-3 yang jadi andalan di musim sebelumnya, ditransformasi lewat susunan yang sangat konservatif, yakni 4-4-2.
    Namun apa yang kemudian terjadi sungguh menakjubkan. Bak kisah dongeng, Leicester yang tadinya hanya punya target “Salvezza” – istilah selamat dari degradasi dalam bahasa Italia – berubah wujud jadi kompetitor gelar EPL! Sesuatu yang diprediksi rumah judi terkenal, Ladbrokes, hanya akan terwujud dalam kemungkinan 5000:1.


    Tanda-tandanya sudah muncul sejak periode awal musim kompetisi 2015/16. Mengoleksi lima kemenangan dan hanya sekali kalah dari sepuluh matchday awal, Leicester tak pernah keluar dari lima besar klasemen. Kemudian secara tak terduga mereka muncul sebagai juara paruh musim bersama Arsenal, lewat koleksi 39 poin dari 19 matchday.

    “Saya katakan pada mereka [pemain Leicester] jika sanggup melakukan clean sheet, saya janji akan mentraktir pizza. Saya akan bayar pizza-nya, mereka bayar sosis-nya. Saya adalah manusia sosis!” ujar Ranieri dalam prosesnya, tatkala Leicester sukses menorehkan clean sheet perdana di matchday sepuluh.

    Dongeng soal keajaiban terus berlanjut. Orang-orang mulai mengenal sosok-sosok seperti N’Golo Kante, Riyad Mahrez, dan Jamie Vardy, yang krusial membawa hasil juga hadirkan permainan menghibur untuk Leicester. Sepasang lima kemenangan beruntun dicatatkan, tim-tim besar layaknya Tottenham Hotspur, Manchester City, dan Liverpool dikalahkan. Singgasana klasemen pun tak pernah The Foxes lepaskan sejak matchday ke-24.

    “Kami berada di Liga Champion! Dilly ding, dilly dong, Anda berbicara tentang blah, blah, blah, tetapi kami menembus Liga Champions! Hal ini fantastis! Selanjutnya? Kami harus juara musim ini atau tidak sama sekali!” seru Ranieri usai timnya pastikan tempat di Liga Champions pada matchday ke-34, dan hanya butuh delapan poin untuk pastikan gelar juara.

    Benar saja. Fantasi liar itu sungguh terwujud. Leicester akhirnya keluar sebagai kampiun EPL untuk kali perdana, sepanjang 133 tahun berdirinya klub!


    "Sekarang saya berusia 64 tahun dan saya sudah berjuang lama [untuk meraih gelar juara], tapi saya selalu berpikir positif. Saya selalu yakin akan mendapatkan gelar juara liga. Saya masih tetap sama, pelatih yang kemarin dipecat Yunani. Mungkin orang-orang di sana telah melupakan karier saya. Saya akan tetap bertahan di Leicester. Tahun seperti ini tak akan bisa terulang. Tahun depan kami berharap bisa masuk minimal sepuluh besar. Kita harus tetap berkembang dan bermain baik," ujar Ranieri, dalam pidato juara di King Power Stadium.

    Ranieri jadi legenda. Kisahnya begitu tersohor hingga jadi inspirasi perjuangan di segala bidang. Orang-orang yang dahulu selalu meremehkannya, kini tak bisa melakukan apapun selain menaruh rasa hormat. Kakek asal Roma ini juga memborong gelar pelatih terbaik EPL, terbaik dunia versi FIFA, Laureus Award, dan segala penghargaan lainnya. Ranieri ada di puncak kariernya.

    Sayang, roda nasib berputar terlalu cepat untuk Ranieri. Hanya sembilan bulan setelah membawa Leicester jadi kampiun EPL atau tepatnya pada 23 Februari 2017, surat pemecatan sampai padanya. Prestasi klub yang terjun bebas di kampanye musim ini jadi alasan. Menelan 14 kekalahan, 6 hasil imbang, dan cuma raih 5 kemenangan dari 25 matchday, kontrak Ranieri yang masih menyisakan 16 bulan diputus.

    Manajemen Leicester yang dipimpin konglomerat Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, -- yang disebut Imam Nahrawi tak paham sepakbola -- enggan mempertimbangkan kisah masa lalu. “Kami berkewajiban menaruh kepentingan klub di atas segalanya, termasuk sentimen pribadi, tak peduli seberapa kuat itu," ujar wakil pemilik yang merupakan anak Vichai, Aiayawatt "Top" Raksriakorn, di laman resmi klub.

    Kontan saja, keputusan yang terbilang mengejutkan itu membuat sepakbola dunia berduka. Terutama kota Leicester, yang begitu menyayangkan keputusan manajemen. Seperti dilaporkan BBC, para pemain-lah yang mereka nilai lebih layak disalahkan. Pemain lawas seperti Mahrez dan Vardy seperti cepat puas dengan kejayaan musim lalu sehingga tak maksimal musim ini. Pemain baru layaknya Ahmed Musa hingga Nampalys Mendy juga gagal beradaptasi cepat dengan sistem latihan Ranieri dan sepakbola Inggris.

    Pada pramusim lalu, Ranieri sendiri sempat mengeluhkan perilaku para pemainnya yang mulai keenakan dengan status juara EPL. Pemusatan latihan di Los Angels, Amerika Serikat, lebih banyak dihabiskan dengan berjalan-jalan mengunjungi pusat hiburan. Selain itu pemilik klub, Vichai, juga membuat Wes Morgan cs semakin terlena dengan berbagai bonus dadakan yang tak ada dalam kesepakatan awal.


    Duka juga datang dari teman seprofesi, layaknya Carlo Ancelotti, Massimiliano Allegri, Pep Guardiola, hingga manajer yang dahulu kerap menyindirnya, Jose Mourinho. Juru taktik Sunderland, David Moyes, bahkan menyebut pemecatan Ranieri sebagai hari paling menyedihkan untuk para manajer sepakbola di seluruh dunia.

    Uniknya, sosok yang paling mengecam pemecatan ini adalah orang pertama yang meragukan kapabilitas Ranieri melatih Leicester, yakni Lineker. Melalui akun Twitter-nya, sang legenda menyebut keputusan Leicester sungguh sulit dipahami, sulit untuk dimaafkan, dan sangat menyedihkan. Pada radio BBC, dirinya bahkan mengaku menangis ketika tahu Ranieri dipecat.

    Kini berakhir sudah dongeng ajaib ala Ranieri, yang sayangnya berujung tragis. Industri sepakbola modern sekarang ini memang memusatkan segalanya pada hasil, pada angka-angka, pada analisis kaku, yang ujung-ujungnya bermuara pada uang.

    Tak ada lagi kebanggaan, rasa saling menghormati, dan keyakinan dalam menjalaninya. Celaka bagi pelatih, karena mereka akan jadi orang pertama yang disingkirkan ketika hasil yang diharapkan tak datang. Ranieri jadi korban kesekian dalam hukum sepakbola yang kejam ini.

    Bagaimanapun, kita patut berterima kasih pada apa yang telah ditunjukkan Ranieri. Bahwa keajaiban tetap punya tempat sendiri dalam sepakbola, yang makin lama makin mudah diprediksi. Dan seperti kata Lineker,

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Fashion

    Beauty

    Travel